Sabtu, 24 September 2011

televisi berwarna

Televisi berwarna
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
RCA TV 500PX.jpg

Televisi berwarna adalah sebuah alat yang berfungsi untuk menangkap siaran berupa suara dan gambar yang berwarna (bukan monokrom), maupun data-data grafis lainnya. Karena pada awal kemunculan televisi gambarnya hanya hitam-putih, maka teknologi televisi berwarna ini dianggap sebagai penemuan yang sangat besar bagi dunia penyiaran dalam media elektronik.
Daftar isi
[sembunyikan]

1 Sejarah
2 Dasar TV Berwarna
3 Standar Video
3.1 Sistem NTSC
3.2 Sistem PAL
3.3 Sistem SECAM
4 Lihat Pula
5 Pranala Luar
6 Referensi

[sunting] Sejarah

Pada tahun 1873 seorang operator telegram menemukan cara agar manusia dapat melihat arus listrik dengan menggunakan selenium camera. Seorang Jerman membuat hak paten atas penemuannya pada tahun 1904 yang berisi tentang proposal untuk sistem televisi berwarna. Tahun 1925 Zworykin membuat paten tentang semua televisi berwarna elektronik. Tetapi sistem ini tidaklah efisien, bagaimanapun Zworykin adalah orang pertama yang mematenkan televisi berwarna. Sistem televisi berwarna yang desainnya berdasar pada perusahaan RCA memulai era penyiaran komersial dan pertama kali disahkan oleh Federal Communications Commission (FCC) pada 17 Desember 1953. Dan akhirnya antara tahun 1946 dan 1950 para staf peneliti dari laboratorium RCA menemukan televisi elektronik berwarna pertama di dunia yang masih kompatibel dengan sistem monokrom.
[sunting] Dasar TV Berwarna

Teori warna menyatakan bahwa semua warna dapat direproduksi dengan mencampur warna-warna dasar (primary colors): merah, biru, dan hijau. Televisi berwarna diwujudkan dengan cara memisahkan gambar yang akan ditampilkan ke dalam tiga warna dasar merah, biru, dan hijau dengan media kaca pemisah tiga warna. Setelah tahap pemisahan warna, selanjutnya warna yang telah terpisah tadi diubah menjadi sinyal-sinyal listrik dan kemudian sinyal listrik tersebut dikombinasikan oleh alat khusus. Sinyal yang telah terkombinasikan tadi lalu di terima oleh pesawat penerima (reciever) untuk kemudian dimasukkan ke dalam Cathode Ray Tube (CRT) atau biasa disebut dengan tabung sinar katoda dan akhirnya gambar dapat ditampilkan di layar televisi.
[sunting] Standar Video

Setiap televisi memiliki standar sistem video yang berupa sinyal elektronik. Dalam tiap-tiap negara di dunia standar sistem video dalam penggunaan televisi dibagi menjadi tiga sistem. Kategori yang pertama adalah sistem NTSC, yang kedua sistem PAL, dan yang terakhir adalah sistem SECAM.
[sunting] Sistem NTSC

National Television System Committee (NTSC) merupakan standar sistem gambar televisi yang dipakai di daerah Amerika Utara, sebagian besar Amerika Selatan, Taiwan, Korea Selatan, Filipina, dan Jepang. Sistem NTSC dipandang sebagai salah satu dari sistem-sistem standar yang terbaik untuk penyiaran televisi berwarna. Sifat-sifat khusus yang dimiliki sistem NTSC adalah seperti jumlah bingkai gambar (frame) yang digunakan sebanyak 30 frame per second (fps). Setiap frame terdiri dari 525 garis raba individual (scan line). Video bandwidth nya sebesar 4.2Mega Hertz (MHz). Sinyal elektronik berupa hasil pemisahan cahaya (merah, hijau, dan biru) dimasukkan ke dalam CRT, dan tiap tabung hanya peka terhadap satu warna cahaya saja. Dalam sistem NTSC ketiga unsur sinyal listrik (merah, hijau, dan biru) digabung lagi sehingga membentuk sinyal listrik yang baru. Sinyal yang baru ini antara lain adalah berupa sinyal terang (brightness), dan sinyal warna (chrominance). Sinyal terang hanya menunjukkan intensitas cahaya atas gambar, sedangkan sinyal warna menunjukkan warna dari gambar dan terdiri atas unsur corak warna (hue) dan kejenuhan (saturation).
[sunting] Sistem PAL

Phase Alternating Line (PAL) mulai diperkenalkan pada awal tahun ‘60an. Dipakai di banyak negara di dunia kecuali selain yang bersistem NTSC. Sifat khusus yang dimiliki sistem PAL adalah jumlah bingkai gambar yang dikirim sebanyak 25 fps dan setiap frame memiliki 625 garis raba individual. Jumlah garis raba yang lebih banyak dan video bandwidth sistem PAL juga lebih besar dibandingkan dengan sistem NTSC, yaitu 4.2MHz; 5.0MHz; 5.5MHz; dan 6.0MHz. Kedua hal ini membuat kualitas gambar sistem PAL menjadi lebih baik dibandingkan dengan sistem NTSC.
[sunting] Sistem SECAM

Sequential Couleur Avec Memoire (SECAM) atau Sequential Color with Memory merupakan standar sistem gambar yang digunakan di negara Perancis. Munculnya sistem SECAM bersamaan dengan sistem PAL, yaitu sekitar awal tahun ‘60an. Cara kerja sistemnya sama dengan PAL tetapi sistem SECAM mengirimkan informasi warna gambarnya secara berurutan.

Senin, 19 September 2011

sejarah persib

Sebelum bernama Persib, di Kota Bandung berdiri Bandoeng Indische Voetbal Bond (BIVB) pada sekitar tahun 1923. BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada masa itu. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Mr. Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang wanita Dewi Sartika, yakni R. Atot.

Atot ini pulalah yang tercatat sebagai Komisaris daerah Jawa Barat yang pertama. BIVB memanfaatkan lapangan Tegallega didepan tribun pacuan kuda. Tim BIVB ini beberapa kali mengadakan pertandingan diluar kota seperti Yogyakarta dan Jatinegara Jakarta.

Pada tanggal 19 April 1930, BIVB bersama dengan VIJ Jakarta, SIVB (Persebaya), MIVB (sekarang PPSM Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), PSM (PSIM Yogyakarta) turut membidani kelahiran PSSI dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Yogyakarta. BIVB dalam pertemuan tersebut diwakili oleh Mr. Syamsuddin. Setahun kemudian kompetisi tahunan antar kota/perserikatan diselenggarakan. BIVB berhasil masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1933 meski kalah dari VIJ Jakarta.

BIVB kemudian menghilang dan muncul dua perkumpulan lain yang juga diwarnai nasionalisme Indonesia yakni Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung (PSIB) dan National Voetbal Bond (NVB). Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi dan lahirlah perkumpulan yang bernama Persib yang kemudian memilih Anwar St. Pamoentjak sebagai Ketua Umum. Klub-klub yang bergabung kedalam Persib adalah SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA, dan Merapi.

Persib kembali masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1934, dan kembali kalah dari VIJ Jakarta. Dua tahun kemudian Persib kembali masuk final dan menderita kekalahan dari Persis Solo. Baru pada tahun 1937, Persib berhasil menjadi juara kompetisi setelah di final membalas kekalahan atas Persis.

Di Bandung pada masa itu juga sudah berdiri perkumpulan sepak bola yang dimotori oleh orang- orang Belanda yakni Voetbal Bond Bandung & Omstreken (VBBO). Perkumpulan ini kerap memandang rendah Persib. Seolah- olah Persib merupakan perkumpulan “ kelas dua “. VBBO sering mengejek Persib. Maklumlah pertandingan- pertandingan yang dilangsungkan oleh Persib dilakukan di pinggiran Bandung—ketika itu—seperti Tegallega dan Ciroyom. Masyarakat pun ketika itu lebih suka menyaksikan pertandingan yang digelar VBBO. Lokasi pertandingan memang didalam Kota Bandung dan tentu dianggap lebih bergengsi, yaitu dua lapangan dipusat kota, UNI dan SIDOLIG.

Persib memenangkan “ perang dingin “ dan menjadi perkumpulan sepakbola satu- satunya bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya. Klub-klub yang tadinya bernaung dibawah VBBO seperti UNU dan SIDOLIG pun bergabung dengan Persib. Bahkan VBBO kemudian menyerahkan pula lapangan yang biasa mereka pergunakan untuk bertanding yakni Lapangan UNI, Lapangan SIDOLIG (kini Stadion Persib), dan Lapangan SPARTA (kini Stadion Siliwangi). Situasi ini tentu saja mengukuhkan eksistensi Persib di Bandung.

Ketika Indonesia jatuh ke tangan Jepang. Kegiatan persepakbolaan yang dinaungi organisasi lam dihentikan dan organisasinya dibredel. Hal ini tidak hanya terjadi di Bandung melainkan juga diseluruh tanah air. Dengan sendirinya Persib mengalami masa vakum. Apalagi Pemerintah Kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan baru yang menaungi kegiatan olahraga ketika itu yakni Rengo Tai Iku Kai.

Tapi sebagai organisasi bernapaskan perjuangan, Persib tidak takluk begitu saja pada keinginan Jepang. Memang nama Persib secara resmi berganti dengan nama yang berbahasa Jepang tadi. Tapi semangat juang, tujuan dan misi Persib sebagai sarana perjuangan tidak berubah sedikitpun.

Pada masa Revolusi Fisik, setelah Indonesia merdeka, Persib kembali menunjukkan eksistensinya. Situasi dan kondisi saat itu memaksa Persib untuk tidak hanya eksis di Bandung. Melainkan tersebar diberbagai kota, sehingga ada Persib di Tasikmalaya, Persib di Sumedang, dan Persib di Yogyakarta. Pada masa itu prajurit- prajurit Siliwangi hijrah ke ibukota perjuangan Yogyakarta.

Baru tahun 1948 Persib kembali berdiri di Bandung, kota kelahiran yang kemudian membesarkannya. Rongrongan Belanda kembali datang, VBBO diupayakan hidup lagi oleh Belanda (NICA) meski dengan nama yang berbahasa Indonesia Persib sebagai bagian dari kekuatan perjuangan nasional tentu saja dengan sekuat tenaga berusaha menggagalkan upaya tersebut. Pada masa pendudukan NICA tersebut, Persib didirikan kembali atas usaha antara lain, dokter Musa, Munadi, H. Alexa, Rd. Sugeng dengan Ketua Munadi.

Perjuangan Persib rupanya berhasil, sehingga di Bandung hanya ada satu perkumpulan sepak bola yakni Persib yang dilandasi semangat nasionalisme. Untuk kepentingan pengelolaan organisasi, decade 1950- an ini pun mencatat kejadian penting. Pada periode 1953-1957 itulah Persib mengakhiri masa pindah- pindah sekretariat. Walikota Bandung saat itu R. Enoch, membangun Sekretariat Persib di Cilentah. Sebelum akhirnya atas upaya R.Soendoro, Persib berhasil memiliki sekretariat Persib yang sampai sekarang berada di Jalan Gurame.

Pada masa itu, reputasi Persib sebagai salah satu jawara kompetisi perserikatan mulai dibangun. Selama kompetisi perserikatan, Persib tercatat pernah menjadi juara sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1961, 1986, 1990, dan pada kompetisi terakhir pada tahun 1994. Selain itu Persib berhasil menjadi tim peringkat kedua pada tahun 1950, 1959, 1966, 1983, dan 1985.

Keperkasaan tim Persib yang dikomandoi Robby Darwis pada kompetisi perserikatan terakhir terus berlanjut dengan keberhasilan mereka merengkuh juara Liga Indonesia pertama pada tahun 1995. Persib yang saat itu tidak diperkuat pemain asing berhasil menembus dominasi tim tim eks galatama yang merajai babak penyisihan dan menempatkan tujuh tim di babak delapan besar. Persib akhirnya tampil menjadi juara setelah mengalahkan Petrokimia Putra melalui gol yang diciptakan oleh Sutiono Lamso pada menit ke-76.

Sayangnya setelah juara, prestasi Persib cenderung menurun. Puncaknya terjadi saat mereka hampir saja terdegradasi ke Divisi I pada tahun 2003. Beruntung, melalui drama babak playoff, tim berkostum biru-biru ini berhasil bertahan di Divisi Utama.

Sebagai tim yang dikenal tangguh, Persib juga dikenal sebagai klub yang sering menjadi penyumbang pemain ke tim nasional baik yunior maupun senior. Sederet nama seperti Risnandar Soendoro, Nandar Iskandar, Adeng Hudaya, Heri Kiswanto, Adjat Sudradjat, Yusuf Bachtiar, Dadang Kurnia, Robby Darwis, Budiman, Nuralim, Yaris Riyadi hingga generasi Erik Setiawan merupakan sebagian pemain timnas hasil binaan Persib.

Minggu, 18 September 2011

ic zn 414

This is a project from the dim and distant past which has proved to be a real winner. I have used it as the basis for an 8 channel proportional R/C (AM) as well as a 145MHz FM "chat box". The receiver is very simple and is shown below. It consists of a single transistor mixer then a ZN414 radio IC to provide the gain and detection. A 741 OP-AMP is used as the final audio stage, but this could be replaced with an LM380, if you want to drive a small loudspeaker.


The ZN414 is designed solely for AM but NBFM signals can be copied adequately by off-tuning the receiver a little (slope detection). The ZN414 could also be replaced with the more recent ZN416 IC to provide 18dB more gain. I have left the pin numbers to you as they are readily available in the Maplins (and other) catalogues. The 2 IF transformers are 465KHz coils robbed from another one of those cheap'n-nasty $1.5 radio's.
The 741 OP-AMP will drive a 70 ohm headphone quite easily. 70 ohm headphones are cheap and available as replacements for the "Sony Walkman", but with both headphones wired in seried (only use TIP and RING of the 3.5mm connector). In my lab-book, I made a note to place a 560 ohm resistor between the 741 output and the +ve supply. This is to force one of the O/P transistors to draw some current in order to prevent crossover distortion. OP-AMPS make good low power AF amplifiers but they do have their limitations.
The circuit shown above describes the antenna input circuit for 145MHz but you can change it for whatever band you want from 70 KHz to over 200 MHz, with a suitable local oscillator of course.
The local oscillator can be an HF/VHF Signal Generator but if you want a self contained unit, then a custom local oscillator should be constructed. I have also given the three oscillator circuits I have used for various applications in the following GIF files:

Gives the circuit diagram of a VHF 145MHz oscillator that can be used to receive the 2 meter band. The crystal is a 2-meter 8MHz type (Kenwood 2200) but 12MHz crystals will work equally well in this circuit. If you want to receive 145.750 use a TX crystal from 145.250 - 145.300 (RTTY channel). Tweek the two IF cans (change the IF) to peak the channel required.

Is a crystal controlled RX for 27 MHz. Crystals are readily available. Here is the frequency of R/C band crystals.
26.995, 26.540 - Brown
27.045, 26.590 - Red
27.095, 26.640 - Orange
27.145, 26.690 - Yellow
27.195, 26.740 - Green
27.245, 27.790 - Blue
Almost any crystal can be made to "hoot" at its fundamental frequency, 3rd harmonic or 5th harmonic, just by changing the tuning coil and capacitor. A GDO is a great help here.
USA CB TX crystals will get you into the 28 MHz amateur band.
A 16.5 MHz crystal will get you into the 50 MHz amateur band.
A 14.0 MHz crystal will get you into the 70 MHz amateur band.
Get the RX aligned to the exact frequency by adjusting the IF transformers. Changing the IF frequency will change the RX RF frequency by about plus/minus 40 KHz.

Is a VFO which can cover any frequency you like from 70KHz to over 20MHz, but stability may suffer at high frequencies. L1 and C1 you should select for the band you want. The 47pf and 100pf capacitors should always have the same ratio. Their SUM being about C1/2.
If you are particularly adept at construction and can produce a stable VFO at VHF then there is no reason why you cannot make a tuneable VHF receiver with this circuit.
I hope that you have as much fun with this receiver as I had over the years. One of the next projects I will soon post soon will be the TX used with this receiver. I was fortunate enough to live on a hill where the path losses from me to GB3PI was only 109dB. This meant that I could open the squelch of GB3PI with only 20uW (MICRO not MILLI)!! I modified the IF coils of this receiver (took out the internal capacitors and used external caps) so that the IF was 600KHz. The transmitter was also the local oscillator for the receiver!!! The transmitter gave out over 1mW. Antenna switching was the only TX/RX switching used, ie the TX was always left switched on. One thing about QRP - you never have to worry about SWR!!
As usual all circuits and ideas are presented as ideas that were succesful for me, with the components I had handy at the time. You may have to "fiddle" with coil turns and capacitances, etc., depending upon the coil formers and layout you choose to use. Here is a picture of one of my prototypes which I used as a five channel proportional receiver for radio control.

This shows how I re-use IF transformers from the cheap'n nasty radio sets. In this circuit I used a ZN416 which is a ZN414 but with an additional 20dB AF amplifier. The decoder logic OP-Amps and servo driver IC are only required for radio control. I ran out of space on the PCB otherwise I could have had outputs for up to nine proportional channels.

zn 414

The ZN414 was a low cost, single-chip AM radio integrated circuit. Launched in 1972, the part was designed and supplied by Ferranti, but was also available from GEC-Plessey. The ZN414 was popular amongst hobbyists as a fully working AM radio could be made with just a few external components, a crystal earpiece and a 1.5 V cell.
The original ZN414 chip from Ferranti was supplied in a 3-pin, metal TO-18 'transistor' package whereas the GEC part and later Ferranti ones (ZN414Z) used the plastic TO-92 encapsulation. Later variants, the ZN415 and ZN416, came in 8-pin DIL packages and included a built-in amplifier that could drive headphones and small speakers directly.
The radio circuit inside the ZN414 was based on a design known as Tuned Radio Frequency (TRF). The TRF design is much simpler than the popular, but more complex, superheterodyne radio circuit often used in modern AM receivers. It was principally the use of the TRF circuit that allowed almost a whole radio to be fitted into one small, three-pin package.
ZN414 in basic functional circuit
The manufacturing process for the ZN414 chip used a relatively new (for the time) technique known as Collector Diffusion Isolation (CDI). CDI was invented by engineers at Bell Telephone Laboratories and subsequently developed into a commercial process by Ferranti in the UK[1].
The original ZN41x family have not been manufactured for some time, but modern equivalents to the original 3-pin ZN414 are available, with part codes of MK484, TA7642 and (mainly in India, the Far East & Australasia) YS414 and LMF501T. Note that on the YS414 part, pins 1 (output) and 3 (ground/earth) are transposed.
ZN414 pinouts